sekilasdunia.com - Gangguan Windows global yang dipicu oleh pembaruan CrowdStrike yang salah merugikan perusahaan-perusahaan besar AS hingga US$5,4 miliar (sekitar Rp88,01 triliun).
Hal itu berdasarkan estimasi perusahaan asuransi Parametrix terhadap korporasi yang masuk daftar Fortune 500, yakni 500 perusahaan yang meraih pendapatan tahunan terbanyak di AS.
Kerugian finansial ini tidak termasuk Microsoft, raksasa teknologi yang sistemnya mengalami kegagalan yang meluas dalam kecelakaan tersebut.
Parametrix, dikutip dari The Guardian, memperkirakan perusahaan-perusahaan di bidang perbankan dan kesehatan menjadi yang paling terpukul, serta maskapai penerbangan besar.
Total kerugian yang diasuransikan untuk perusahaan-perusahaan Fortune 500 di luar Microsoft dapat mencapai antara US$540 juta (Rp8,8 triliun) dan US$1,08 miliar (Rp17,6 triliun).
Berbagai industri masih berjuang untuk memperbaiki kerusakan akibat gangguan CrowdStrike, yang menyebabkan pembatalan ribuan penerbangan, kekacauan di rumah sakit, dan lumpuhnya sistem pembayaran.
Para ahli pun menggambarkan insiden ini sebagai kegagalan IT terbesar dalam sejarah.
Gangguan tersebut mengungkap bagaimana sistem teknologi modern dibangun di atas tanah yang tidak stabil, dengan kode yang salah dalam satu pembaruan dapat melumpuhkan operasi di seluruh dunia.
CrowdStrike, perusahaan multimiliar dolar yang berkantor pusat di Texas, AS, kehilangan sekitar 22 persen dari nilai pasar sahamnya sejak gangguan tersebut.
Perusahaan berulang kali meminta maaf karena menyebabkan krisis teknologi internasional. Dalam laporannya, Rabu (24/7/2024), CrowdStrike merinci apa yang salah dalam pembaruan tersebut.
Penyebab utama kegagalan tersebut berasal dari pembaruan yang didorong CrowdStrike ke platform Falcon andalannya, yang berfungsi sebagai layanan berbasis cloud yang dimaksudkan untuk melindungi bisnis dari serangan dan gangguan siber.
CrowdStrike adalah salah satu perusahaan keamanan siber paling terkemuka di dunia dengan valuasi sekitar US$83 miliar (Rp1.352,75 triliun) sebelum gangguan global tersebut.
Menurut situs webnya, perusahaan ini melayani sekitar 538 dari 1.000 perusahaan Fortune 500 dan beroperasi di seluruh dunia.
Layanannya yang dipakai secara luas membuat efek kegagalan pembaruan itu menjadi sangat parah. Ini menunjukkan betapa banyak perusahaan bergantung pada produk yang sama untuk menjaga operasi tetap berjalan.
Beberapa perusahaan mengalami kesulitan untuk pulih dari gangguan ini. Delta Air Lines masih dalam kekacauan beberapa hari kemudian karena membatalkan dan menjadwalkan ulang ratusan penerbangan.
Penumpang pun frustrasi tidak dapat pulang dan orang tua harus berjuang untuk menghubungi anak-anak mereka yang telantar. Departemen Transportasi AS membuka penyelidikan terhadap Delta atas penanganan terhadap masalah tersebut.
(ims)
« Prev Post
Next Post »